Header Ads

Teologi Pembebasan Islam (Ali Syariati)


Tulisan ini dirangkum dari Ngaji Filsafat Dr. Fahruddin Faiz di Masjid Jenderal Sudirman yang diakses melalui Youtube dengan sedikit tambahan
.

Cara manusia memandang dunia sangat mempengaruhi bagaimana manusia hidup. Mempelajari pendangan hidup atau mazhab pemikiran suatu kelompok, berarti mempelajari bentuk dan pola kebudayaan dari kelompok tersebut. Jika dunia kita yang sekarang ini eksis adalah dunia yang absurd tanpa makna, maka patut diduga disebabkan oleh pandangan dunia yang menaunginya, yaitu modernitas. Dibalik keunggulannya, yaitu berkembangnya ilmu pengetahuan, modernitas tetap menyimpan kelemahan, yaitu prioritasnya dalam dunia materi. Kondisi ini ternyata telah membuat pola pikir penaklukkan bagi manusianya, yang kemudian melahirkan penindasan satu manusia ke manusia lain seperti dalam modus penjajahan.

Menurut Syariati, penyembahan kepada Allah dan pengkultusan kepada Nabi Muhammad dan Ali tanpa pemahaman, tidak saja tidak berguna tetapi juga dekaden, tanpa martabat dan membawa kemalangan. Oleh karenanya, cara beragama kita harus berdasar pemahaman yang baik, yaitu melalui cara dialogis antara doktrin dengan realitas. Doktrin agama yang tidak membumi, tidak akan berguna dan hanya akan menjauhkan agama dari umat. Doktrin agama harus memiliki relevansi dengan kehidupan riil kita dan tidak berjarak. Jika dalam dunia kita marak dengan penindasan, agama harus mampu menjadi pendorong bagi tertindas untuk melepaskan diri dari ketertindasannya. Tauhid harus membebaskan manusia, sehingga efek sosial Tauhid sebagai pandangan dunia adalah anti penindasan.

Agar agama ini berperan lebih signifikan, maka kita perlu pemaknaan baru. Pertama-tama kita perlu memaknai keberadaan manusia itu sendiri sebagai pihak sentral dalam pola interaksi sosial dan sebagai subyek yang mengelola alam. Dalam keberadaan ini, terdapat dua level manusia, yaitu;

1. Level Basyar; yaitu manusia pada tahap awal (level being), apa adanya, tidak positif dan tidak negatif. Basyar ini adalah modal awal manusia, yang dianugerahi akal pikiran oleh Tuhan. Nabi, sebagai menusia memiliki level yang sama dengan kita.

2. Level Insan; yaitu manusia pada tahap lanjutan (level becoming). Pada level ini manusia telah memanfaatkan potensinya kemudian mengimplementasikannya. Manusia juga sudah memilih mengenai dirinya, membuatnya menjadi berbeda (menjadi) dari waktu ke waktu. Proses inilah yang menentukan akan seperti apa kita dalam konteksi interaksi kita dengan alam dan dengan manusia lainnya.

Kita bisa mengambil hikmah penciptaan manusia pada level basyar. Dalam kepercayaan mengenai penciptaan, manusia diciptakan dari tanah. Yang membuat kita istimewa adalah ruh Allah yang ada dalam diri kita, yang ditiupkan pada tanah (jasad) tersebut. Pelajaran nabi Adam yang pertama adalah kita dari tanah dan diberikan ruh Ilahi. Dari pemaknaan tersebut, terdapat dua aspek dalam hidup kita, yaitu pilihan manusia menentukan kita menjadi lumpur (regresif) yang berorientasi fisik materi atau menuju ruh Ilahi (progresif). Progresif adalah pilihan yang outputnya semakin mendekatkan diri kita kepada Allah, sehingga kita menjadi hamba yang terbaik/taqwa (ahsanu taqwim). Regresif adalah pilihan yang semakin menjauhkan diri kita dari Allah, yang kondisinya digambarkan mirip tanah yang kotor, bersifat jasad yang berubah-ubah, sementara, dan tidak abadi. Untuk menilai sejauh mana perjalanan kita menuju Allah (progresif) tersebut, kita bisa melihat dari berapa persentase Allah dalam pikiran kita, yang kemudian tercermin dari apa-apa yang kita pikirkan. Jika lebih banyak hal-hal yang bersifat materi, maka kita harus waspada, jangan-jangan kita bersifat regresif, yang berarti semakin jauh dari kebaikan/taqwa dan keabadian.

Falsafah kedua agar kita tidak regresif sekaligus progresif adalah melalui ilmu. Adam dibekali Allah dengan ilmu yang tidak diajarkan kepada Malaikat. Semua ilmu berasal dari Allah. Allah kemudian menyuruh malaikat untuk sujud, karena keunggulan ilmu Adam. Inilah humanisme dalam artian positif, yaitu tidak menafikan “peran” Tuhan yang memberikan ilmu dan anugerah kepada Manusia. Ilmu juga menjadi modal agar manusia dapat begerak dari dari being menuju becoming. Manusia pada mulanya adalah “sesuatu” dan harus terus berlanjut untuk “menjadi”. Gerak ini harus diarahkan menuju kesempurnaan yang bersifat abadi dan ilahiyah, yang modalnya adalah kesadaran diri, kehendak bebas dan kreativitas. Landasan ketiganya adalah ilmu.

Kesadaran diri adalah paham posisi (kenali diri), peran sejarah dan hakikat individual. Kehendak bebas membutuhkan pengetahuan mengenai apa saja yang membelenggu. Kreativitas adalah kemampuan mencipta, memproduksi, mengembangkan, sehingga jika tidak ada kreativitas maka tidak bisa becoming. Dengan ketiga bekal tersebut kita menjadi khalifah di bumi. Puncaknya kita menjadi manusia theomorfis (manusia ideal), yaitu manusia yang menang atas lumpur/tanah dan menomorsatukan Ilahi dengan ciri utama kebenaran (pengetahuan), kebaikan (akhlak) dan keindahan (seni). Disinilah manifestasi Abdullah (abdi Allah) dan Khalifatullah (pengelola bumi).

Dengan pemaknaan tersebut, maka pertama-tama adalah kita perlu membangun diri kita sendiri terlebih dulu sebelum “membereskan” orang lain dan masyarakat. Kita pastikan diri kita tidak menjadi sumber masalah di masyarakat kita. Boleh saja berfikir filosofis, dan bahkan perlu, namun tetap tidak boleh lupa untuk berbuat untuk masyarakat. Demikian juga dengan keimanan, tetap harus berlandasarkan akal. Kesalehan individual tidak berarti kita menjadi pertapa yang tidak berdaya yang tidak peduli dengan kondisi sosial kita. Aktivitas sosial ini harus tetap berlandasarkan moral dan etika. Manusia theomorfis adalah manusia jihad dan ijtihad, ber-aksi (implementasi) dan ber-refleksi (berfikir) sekaligus. Manusia syair sekaligus pedang.

Pengetahuan adalah kunci kita membaca dunia, yang kemudian menjadi semacam worldview atau pandangan hidup. Misalnya, seorang ulama yang memperdalam tasawuf, biasanya melihat segala sesuatunya dalam pandangan dan bercorak tasawuf. Manusia yang progresif adalah manusia yang worldview-nya bercorak religius (menuju Allah) dan humanistik (bertanggungjawab sosial sebagai khalifah). Dasar dari pandangan dunia ini adalah Tauhid, innalillahi wa inna ilaiho rojiun. Semua momen dalam hidup kita seharusnya ditimbang dari konsep itu. Jika tidak mendukung konsep “ilaihi rojiun” maka harus dihindari. Inilah implementasi Tauhid, melakukan sesuatu dalam rangka kembali kepada Allah. Untuk mencapai konsep tersebut, parameternya adalah apakah yang kita lakukan didunia ini dapat mendekatkan diri kepada Allah. Pandangan ini menggerakkan manusia hanya takut pada kekuatan Allah, sehingga dapat menjadi modal untuk melawan ketidakadilan. Setiap ada penindasan, Tauhid terciderai karena ada penguasaan dari manusia satu ke manusia yang lain dan tidak selayaknya manusia menguasai manusia lainnya karena yang berhak berkuasa hanya Allah. Substansi dari Tauhid sosial adalah kesetaraan dan pembebasan dari belenggu. Dalam pembelengguan dan hubungan yang subordinatif, manusia dipaksa untuk menomorsatukan orang lain sehingga tidak dapat optimal dalam bertauhid. Untuk merealisasikan tersebut, kita membutuhkan ideologi.

Ideologi ini dapat membentuk bagaimana bentuk masyarakat, termasuk bagaimana masyarakat tersebut berfikir yang kemudian melahirkan peradaban dan kebudayaan. Sedangkan Ilmu dibentuk oleh peradaban dan kebudayaan tersebut. Ideologi juga menentukan visi dari masyarakat. Dalam merumuskan ideologi, kita perlu membebaskan diri dari ego, alam, sejarah, masyarakat. Kita adalah subyek yang menentukan bentuk dunia ini. Keempatnya harus secara bersama-sama menomorsatukan Allah dan tidak ada yang menghegemoni. Untuk mencapainya kita butuh Agama Islam. Dengan kata lain, rumusan ideologi harus berdasarkan nilai-nilai keIslaman yang rahmatan lil alamin. Dalam praksisnya, riwayat Abu Dzar dapat menjadi pelajaran untuk membela kaum mustadhafin, yaitu penyembahan/pengagungan selain Allah (despotism), penjajahan dan eksploitasi. Setiap kali rakyat dibiarkan lemah secara ekonomi, namanya eksploitasi. Setiap kali rakyat dibiarkan lemah secara politik, namanya despotisme. Setiap kali rakyat dibiarkan lemah dalam hubungan kenegaraan, namanya penjajahan. Setiap kali rakyat dibiarkan lemah secara budaya, namanya pelemahan/pelumpuhan. Semua ciri tersebut adalah ciri kaum mustadhafin. Analoginya juga bisa dilihat dari perjuangan Habil melawan Qobil. Habil adalah kelompok tertindas, yang dianalogikan dengan para Nabi; Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, yang lahir dari tengah masyarakat biasa (ummi), yang kemudian memperoleh kesadaran hikmah dan kemudian mampu melakukan perubahan sosial.  Qobil penindas, dicirikan dengan empat hal, yaitu:

1.     Firaun; penguasa yang korup, penindas.

2.     Haman; teknokrat pendukung penguasa korup. Melacurkan Ilmu.

3.    Qorun; hartawan, kapitalis, pemilik modal yang rakus.

4.    Bal’am; agamawan yang melegitimasi praksis ketidakadilan.

Ke-Islam-an kita seharusnya dapat menjadi basis pandangan hidup (ideologi) yang relevan dalam upaya perjuangan melawan penindasan.
Teologi Pembebasan Islam (Ali Syariati) Teologi Pembebasan Islam (Ali Syariati) Reviewed by KATALOGI on January 26, 2022 Rating: 5

No comments

Random Posts

3/random/post-list