Indonesia antara Drama dan Keajaiban
Sejak
bukunya Adam Smith diterbitkan, persoalan kemakmuran negara menjadi pertanyaan
besar dalam disiplin ilmu ekonomi. Teori pertumbuhan standar memprediksi jika
pasar berjalan semestinya, lembaga-lembaga bekerja dengan efisien dan jarak
geografis tidak menjadi rintangan, maka negara-negara miskin seharusnya bisa
mengatasi ketertinggalannya. Namun demikian, kenyataan justru sebaliknya dimana
banyak negara-negara masih miskin dan minim kemajuan meskipun banyak kesempatan
baru tercipta oleh perluasan ekonomi dunia dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Oleh karenanya, permasalahan ilmu ekonomi dan sejarah ekonomi adalah bukan
untuk mencari jawaban mengapa negara kaya, melainkan mengapa negara-negara lain
tetap miskin atau hanya sedikit berkembang. Memahami sebab-sebab kegagalan
ekonomi mungkin lebih sulit daripada menjelaskan keberhasilan perekonomian.
Salah satu upaya untuk menjelaskan kegagalan ekonomi tersebut adalah kajian
Gunnar Myrdal (1898 – 1987) dalam bukunya, Asian Drama: An Inquiry into the Poverty
of Nations, yang menghasilkan penjelasan rinci namun pesimistis mengenai
perkembangan ekonomi di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Dalam
pandangan Myrdal, kegagalan pembangunan terjadi karena masih bertahannya
struktur kekuasaan tradisional yang koruptif pascakolonial, yang disebabkan
karena ketidakmampuan otoritas dalam mengadopsi pembangunan modern. Kegagalan
perencanaan pembangunan dan kebijakan publik adalah kunci untuk memahami
kegagalan pembangunan di negara-negara tersebut. Selanjutnya Myrdal berpendapat
bahwa pendidikan, kesehatan dan pengendalian penduduk adalah kunci untuk
melakukan pembangunan ekonomi. Namun demikian, masalahnya adalah bagaimana
mungkin negara-negara dengan pemerintahan tidak efisien dapat menjalankan
program-program tersebut dengan baik? Hal ini seperti lingkaran setan (circular
cumulative causation).
Selain
kajian Myrdal, Bank Dunia juga menerbitkan studi mengenai kemajuan ekonomi yang
berjudul The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy; satu sudut
pandang berbeda dengan kajian Myrdal. Kajian Bank Dunia tersebut menjelaskan
bahwa resep kemajuan negara Asia (pertumbuhan dengan pemerataan) adalah
memfokuskan diri pada ekspor komoditas industri dengan memanfaatkan surplus
tenaga kerja mereka yang relatif murah dan investasi di bidang pertanian
melalui distribusi tanah yang mengutungkan penduduk pedesaan. Keuntungan
tersebut, yang terjadi secara simultan dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif
menguntungkan pusat-pusat industri, efektif mengurangi kesenjangan ekonomi dan
menurunkan kemiskinan.
Indonesia
sendiri ditampilkan secara menonjol dalam dua kajian tersebut. Indonesia
mengalami keterpurukan di pertengahan 1960an kemudian berubah secara dramatis
sejak 1967, dengan menjadi negara dengan kinerja perekonomian cukup baik. Oleh
karena itu, Indonesia merupakan sebuah studi kasus ideal untuk menganalisis
transisi dari sebuah “drama” menjadi “keajaiban”. Kedua kajian tersebut
tersebut sebelum krisis ekonomi 1997/1998 yang menghantam hebat perekonomian
Indonesia.
Myrdal
juga menunjukkan perbedaan kinerja perekonomian negara Asia Selatan dan Asia
Tenggara dengan Eropa Barat dan Jepang pasca Perang Dunia II. Eropa Barat dan
Jepang mampu bangkit dengan produktivitasnya, tidak demikian dengan negara Asia
Selatan dan Asia Tenggara. Menurut analisis Myrdal, penyebabnya adalah periode
panjang penjajahan, transisi sulit menuju kemerdekaan dan kebutuhan untuk
menstabilkan rezim-rezim baru dan negara-negara baru pasca kemerdekaan. Dalam
konteks Indonesia, kebijakan publik untuk mendorong produksi dan peningkatan
standar hidup pada dasarnya telah dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Studi tentang “masa lalu” menjadi penting untuk melihat berbagai opsi yang ada
pada saat itu dan mengapa kemudian pemerintah mengambil kebijakan yang salah.
Untuk memahami kesalahan tersebut diperlukan pemahaman mengenai proses politik
dan kelembagaan yang terjadi pada saat itu. Apalagi untuk kasus Indonesia,
krisis 1997/1998 seolah meruntuhkan kinerja perekonomian dua dekade sebelumnya,
sehingga perekonomian Indonesia dikategorikan sebagai “tidak menentu”.
Ketidakmenentukan ini seharusnya dapat dicegah terjadi dimasa depan, yaitu
dengan melihat sebab-sebab kegagalan, termasuk dengan analisis kebijakan yang
diambil pada masa pra-kemerdekaan, yaitu sejak Tanam Paksa, kemudian beralih ke
ekonomi pasar sesudah 1860 dan kebijakan berorientasi dalam negari diawal-awal
kemerdekaan sehingga sejak 1982, berorientasi ke luar.
Disarikan dari Bab 1 buku Ekonomi Indonesia 1800-2010, Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan.
No comments