Header Ads

Hikayat Kota Lereng Gunung



Kota ini mungkin biasa saja, karena jalan utamanya (hanya) lurus. Disebelah timur, ada gunung legendaris, yang nadi kehidupannya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Ekonomi di Gunung ini lebih dahulu ada, dibanding dengan pusat kota, yang mulai ramai sejak beberapa puluh tahun belakangan. Itulah mengapa, garis lurus itu sebenarnya membentang dari perlintasan antar kota sampai ke Gunung. Pusat kota hanya titik singgah diantara perlintasan dan Gunung. Ruang yang demikian, membuat nadi kota nyaris hampir seluruhnya berada di sepanjang jalan lurus itu.


Kota ini hampir sama dengan kota-kota tetangga. Rapi, bersih dan cenderung sepi pada mulanya. Garis lurus ini kemudian dimanfaatkan oleh kepala daerah untuk meningkatkan perekonomian kota. Pinggiran jalan menjelang pusat kota dibangun trotoar sehingga menjadi rapi. Pembatas jalan dihilangkan sehingga jalan terkesan menjadi lebih lebar. Tak lama kemudian, kiri kanan jalan dipenuhi pedagang makanan, wedangan dan angkringan. Perekonomian kota tampak berkembang, karena pedagang ini nyaris tak pernah sepi. Dikiri kanan jalan juga muncul baru kafe, tempat makan, dan tempat nongkrong baru. Konon harganya juga relatif tidak murah untuk ukuran kota kecil, namun tetap ramai pengunjung.


Dari sudut pandang keindahan kota, menarik pedagang kaki lima akan kontraproduktif. Jalanan menjadi ramai dan sampah dimana-mana. Jalan utama menjadi seperti pasar; semrawut. Menariknya, ketika pagi, petugas kebersihan sigap untuk membersihkan sampah konsumsi tersebut. Siang hari lewat, jalanan dan alun-alun sudah bersih dan siap untuk menampung kembali sampah dimalam harinya.


Beberapa waktu lalu, Masjid Agung selesai dibangun dan dibuka untuk umum. Bangunan megah ini tampaknya menjadi landmark baru kota ini. Megah, besar, dan memiliki menara kokoh menjulang. Inilah, sepertinya, bangunan tertinggi di kota ini. Dari jarak beberapa kilometer, menaranya masih terlihat. Masjid Agung lama tampaknya dirobohkan untuk membangun masjid baru ini. Menurut kabar, dana pembangunan masjid ini mencapai Rp 100an miliar, yang bersumber dari APBD. PAD kota ini sekitar Rp 350 miliar dan dana perimbangan Rp 1,6 triliun. Artinya, “kemandirian” kota ini sebenarnya kurang.


Fenomena ini menunjukkan jika membangun kota memang tidak mudah. Ada kepentingan pembangunan ekonomi disatu sisi, dan kepentingan keindahan kota disisi lain. Jika kota menarik, maka banyak pengunjung dari kota lain datang untuk berbelanja, dan pada akhirnya akan menguntungkan penduduk lokal. Menarik penjual di jalan protokol juga merupakan ikhtiar membangun perekonomian, karena akan membuat “pasar kuliner” baru. Apalagi jika dikelola dengan baik dan mampu menarik pengujung kota lain. Mudahnya, untuk membangun perekonomian, sekilas kita memang cukup dengan membelanjakan anggaran dan membuat konsentrasi-konsentrasi perekonomian baru. Pembangunan fisik sejauh ini terbukti meningkatkan citra kepala daerah. Dan kepala daerah kota ini, entah sengaja atau tidak, langkahnya cukup populis dengan membuat konsentrasi ekonomi baru dan keramaian di jalan utama dan pembangunan fisik, dalam rupa Masjid Agung baru yang megah.


Namun demikian, dari sisi sustainability, bisa jadi dipertanyakan. Merobohkan masjid lama yang masih layak untuk kemegahan adalah hal sia-sia, karena tentu saja kita dapat mengalihkan dana pembangunan itu ke hal-hal lain yang lebih produktif. Belum lagi jika pembangunannya tidak signifikan menggunakan “komponen lokal” atau pemenang tendernya bukan orang lokal atau jika tersangkut kasus di daerah lain. Dalam skala masif, jor-joran dalam belanja dapat meningkatkan inflasi yang pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat.


Dari sisi arsitektur, meskipun megah, sayangnya tidak ada yang kesan unik yang ditampilkan. Masjid ini sekilas mirip dengan masjid-masjid di kota lain; megah, menjulang, tinggi dan bermenara. Saya mengandaikan jika arsitektur masjid memadukan budaya lokal, yang semakin terpinggirkan dalam arsitektur masjid kekinian. Arsitektur unik akan menambah daya tarik, sehingga membuat orang luar kota berkunjung, yang pada akhirnya akan mengkonsumsikan uangnya di kota itu.


Membuat pusat perekonomian baru secara agresif memang akan menarik orang-orang untuk konsumsi, sehingga meningkatkan pendapatan pelaku usaha di pusat perekonomian. Namun jika pengujung yang datang adalah orang lokal, maka ada bagian pendapatan orang lokal yang dialokasikan untuk nongkrong (opportunity cost), misalnya tidak jadi membeli buku, mengorbankan jatah langganan paket data untuk kursus online dan kegiatan-kegiatan produktif lain. Pemerintah menyediakan sarana konsumsi, maka tidak bisa disalahkan jika penduduk berbondong membelanjakan uangnya untuk konsumsi. Belum lagi masalah pengelolaan sampah. Jalanan bersih bukan berarti persoalan sampah selesai.


Untuk membangun kota secara berkelanjutan, memerlukan kehati-hatian dalam belanja. Pembangunan fisik agresif tentu saja bukan solusi, karena selain ada potensi moral hazard juga menyimpan bom waktu, seperti kepentingan kelestarian alam, inflasi, dan sifat konsumtif. Sebelum fisik dibangun, ada baiknya kota/daerah memperkuat institusi keuangan lokal, misalnya kredit rakyat dan bank lokal. Jika pemerintah setempat mampu memobilisasi orang kaya lokal untuk menabung dan berkontribusi di lembaga keuangan milik pemerintah lokal, tentu akan sangat menguntungkan. Lembaga keuangan akan untung yang akhirnya akan menambah likuiditas daerah. Selanjutnya, belanja perlu dipertimbangkan dengan pemikiran pemerataan untuk menciptakan kesempatan yang lebih inklusif. Misalnya, membangun jalan baru di pelosok kota, akan mempermudah akses penduduk tersebut ke pusat-pusat keramaian, sehingga dapat dapat menghemat biaya untuk berbagai akses kebutuhan, seperti pasar, kesehatan dan pendidikan.


Pembangunan pusat kota yang sudah mapan secara ekonomi, bukan tidak mungkin akan memunculkan bubble baru. Pada satu saat, ketika kapasitas pusat tersebut tidak mampu menampung antusiasme penduduk, maka investasi yang dikeluarkan akan menjadi sia-sia. Oleh karenanya, penting untuk memitigasi kapasitas suatu lokasi untuk dijadikan objek pembangunan.


Dari sisi pendapatan, normatifnya memang daerah harus mampu membangun sistem yang adil dan dilaksanakan secara konsisten, sehingga akan merangsang kepatuhan pembayaran pajak daerah dan retribusi. Membangun kota pada akhirnya adalah tentang mengelola anggaran secara bijak.

Hikayat Kota Lereng Gunung Hikayat Kota Lereng Gunung Reviewed by KATALOGI on May 18, 2022 Rating: 5

No comments

Random Posts

3/random/post-list