Pengaruh dalam Pola Baru Interaksi
Sifat
manusia yang cenderung berkelompok tidak bisa dipungkiri turut membentuk
peradaban kita saat ini. Manusia berproduksi untuk dirinya sendiri, kemudian
saling bertukar untuk saling memenuhi kebutuhan satu sama lain, hingga kemudian
muncul visi dan keinginan. Visi inilah yang membuat cara produksi semakin
berkembang. Begitu pula dengan keinginan, yang menciptakan kepentingan.
Kesamaan kepentingan memunculkan semangat koloni, hingga muncul peradaban. Cara
berproduksi dan kepentingan kemudian berkait-kelindan, memunculkan
bentuk-bentuk kelompok taktis, seperti negara dan organisasi.
Manusia
disisi lain adalah makhluk individualis. Ia berkelompok, untuk memastikan
kepentingan dirinya terpenuhi. Jika ada yang perlu dikompromikan, tak lain
dalam rangka pemenuhan hasrat diri dengan lebih rasional.
Dalam
perkembangannya, interaksi manusia dalam kelompok juga memunculkan visi-visi
baru. Dalam perbondongan itulah, visi diri tidak disadari menjadi lenyap, atau
setidaknya sejalan dengan kelompoknya. Identitasnya sebagai individu menjadi
samar karena identitas kelompok menjadi lebih dominan. Bahkan tanpa sadar
kepentingannya juga disetir okeh kelompok. Ia adalah individu anonim dari
kumpulan manusia, karena yang eksis adalah identitas kelompok. Dalam kondisi
tersebut, individu menjadi mudah dimobilisasi. Ahistoris, karena individu
semula hendak eksis dengan merealisasikan kepentingan, tapi justru lenyap menjadi
per-gerombolan.
Dalam
dekade digital, tampaknya model kelompok ini telah beralih rupa. Kelompok yang
dulunya nyata, berwujud organisasi misalnya, kini ruangnya menjadi samar.
Substansi dari model lama adalah adanya patron. Kelompok biasanya memiliki nilai-nilai
bersama yang dijunjung. Kemudian ada figur pemimpin, untuk melestarikan
nilai-nilai tersebut. Rasionalitas individual tergerus, yang ada adalah
rasionalitas kelompok, yaitu kesesuaian tindakan dengan nilai-nilai tadi.
Pemimpin kemudian menjadi patron bagi kelompok manusia ini. Dalam era digital,
model patron ini berbentuk followers.
Jika
dalam organisasi konvensional, pemimpin biasanya adalah orang yang paling
berpengaruh, maka dalam model following-followers, seseorang yang memiliki
banyak followers adalah patron bagi followers-nya dan dengan demikian, ia juga
memiliki pengaruh. Belum lagi jika ada pemimpin organisasi dan memiliki banyak
followers, ia seolah memiliki dua jenis pasukan, nyata dan virtual. Elon Musk
misalnya. Sebagai pemimpin perusahaan, ia adalah patron bagi karyawannya,
bahkan pembeli produknya. Sebagai seorang populer di dunia maya, Ia adalah
patron bagi puluhan juta orang diseluruh dunia. Tak heran, jika Ia
mempromosikan satu merek krypto misalnya, merek tersebut bisa seketika booming
dan dicari banyak orang. Ia memiliki reputasi dan pengaruh yang luar biasa,
bahkan bisa jadi mengalahkan satu presiden di negara berkembang. Contoh lain
adalah user aplikasi. Semakin banyak user aplikasi, maka akan berharga semakin
mahal nilai aplikasinya, karena ia seperti telah mampu memasukkan orang dalam
satu komunitas, sebagaimana organisasi. User-user itu mau bergabung (mengunduh)
karena ada kepentingan individualnya. Itulah mengapa, Gojek yang aset tetapnya
tidak seberapa, miliki valuasi yang lebih tinggi dari Garuda. Aplikasi telah
berfungsi selayaknya patron.
Dunia digital terbukti memang mampu mengubah drastis dunia kita. Yang nyata dan tidak nyata dalam artian tidak berwujud benda yang bisa dipegang, menjadi samar. Kita bisa memiliki rumah mewah atau jutaan pasukan didunia digital, dan itu ternyata cukup membuat efek kepentingan individualis kita tercukupi. Suatu saat, mungkin sensasinya akan sama saja, meskipun itu hanya virtual, karena pola interaksi manusia dalam kelompok dan pengaruh visi kelompok yang senantiasa berkembang.
No comments