Gambaran Ekonomi Indonesia 1980an
Kinerja ekonomi Indonesa bisa dibilang cukup baik
diera 1970an sampai dengan 1980an. Dalam pidato dalam konferensi Asosiasi
Perminyakan Indonesia di tahun 1985, Widjojo Nitisastro menyampaikan beberapa
data dan alternatif kebijakan, yang dapat menggambarkan kondisi perekonomian
pada saat itu:
1. Pada awal 1980an, kontribusi
minyak dan gas mencapai 60 s.d. 70 persen pendapatan di APBN, meningkat tajam
dibandingkan awal tahun 1970an, dimana kontribusi minyak dan gas hanya
sekitar 25%. Pemerintah tampaknya cukup berhasil menggunakan penerimaan
tersebut (ditambah dengan utang tentu saja) untuk melakukan berbagai investasi
publik, seperti pembangunan jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan, energi dan
telekomunikasi, dimana berbanding lurus dengan iklim kondusif untuk investasi
swasta dan produksi dalam negeri. Hasilnya sejak tahun 1974 s.d. 1978 ekonomi
Indonesia tumbuh rata-rata 7% per tahun dan 6,5% per tahun dari 1979 s.d. 1981.
2. Demikian halnya untuk
ketahanan pangan. Tahun 1980, Indonesia mengimpor sekitar dua juta ton beras,
hingga kemudian mampu meningkatkan produksi berasnya melalui berbagai langkah
terintegrasi di bidang investasi, riset, ekstensifikasi pertanian, dan
kebijakan harga, sehingga impor beras turun drastis bahkan menjadi
swasembada beras tahun 1984. Absennya Indonesia di pasar impor beras berdampak
pada turunnya harga beras dunia. Namun demikian, melimpahnya produksi beras
juga membawa tantangan baru, seperti kelebihan pasokan, kurangnya
gudang penyimpanan dan pertumbuhan kebutuhan disektor keuangan.
3. Masalah makro muncul diawal dekade 1980an karena melemahnya pasar minyak dunia. Seperti kita tahu, kontribusi minyak untuk penerimaan APBN mencapai 60%-70%, sehingga turunnya harga minyak berdampak pada penerimaan negara dan penerimaan devisa. Jika pada tahun fiskal 1979/80 dan 1980/81, neraca pembayaran masih mencatat surplus 3 miliar dolar, maka tahun anggaran 1981/82 Indonesia mencatat defisit 2,7 miliar dolar dan membengkak menjadi 6,8 miliar dolar tahun anggaran 1981/82. Kondisi tersebut mendorong pemerintah mengambil langkah antisipatis, seperti devaluasi dan nilai tukar fleksibel, penataan belanja pemerintah, reformasi sistem perbankan untuk meningkatkan tabungan dalam negeri, reformasi sistem perpajakan untuk mobilisasi sumber nonmigas dalam negeri dan reformasi kepabeanan, transportasi laut dan administasi pelabuhan untuk memacu ekspor non-migas. Sebagai ilustrasi, dalam APBN Indonesia 1982/83, dari total Rp 15,6 triliun penerimaan negara, dua item terbesar yaitu Rp 9,1 triliun berasal dari pajak perseoran minyak dan Rp 1,8 triliun berasal dari utang. Seluruh penerimaan dari minyak dicatat dalam pajak perseoran minyak tersebut. Berbeda dengan saat ini, penerimaan yang berasal dari bagi hasil minyak dan gas masuk di PNBP sedangkan untuk pajak perusahaan minyak, dicatat di penerimaan pajak.
sumber : www.kemenkeu.go.id |
4. Perkembangan ekonomi dunia
pada saat itu, ditandai dengan pelambatan ekonomi negara maju, tingginya suku
bunga dan penataan kembail nilai tukar mata uang utama dunia. Disisi lain,
harga komoditas negara berkembang, seperti pertanian dan mineral berada pada
tingkat harga yang rendah.
data impor dan produksi beras bisa diunduh disini
No comments