Fenomena NFT dan Penciptaan Permintaan
Beberapa
waktu lalu viral seorang mahasiswa asal Semarang yang menjual ratusan NFT
(non-fungible token) foto selfie-nya sejak tahun 2017. Disinyalir keuntungannya
mencapai Rp 1,5 miliar. Kemudian dibahas juga di podcast Deddy Corbuzier, 3D
animasi yang laku mencapai ratusan milyar rupiah. NFT kemudian menjadi
perbincangan, banyak orang mencari tahu apa itu NFT setelah sebelumnya ramai
bahasan mengenai Metaverse, sebuah dunia virtual yang tampaknya akan menjadi
ranah jelajah kita dimasa depan.
NFT
ini unik, karena konsepnya yang benar-benar baru. Bagaimana bisa, foto selfie
Ghozali Everyday yang bisa kita lihat juga dengan gratis, tapi tetap laku
puluhan ribu bahkan jutaan tiap fotonya. Ini adalah komoditas baru dan mungkin
cara kita menikmati barang dimasa depan, begitu salah satu bahasan di podcast
tersebut. Rasa "memiliki" itulah yang mahal. Kita bisa menikmati dan
melihat foto, tapi tetap foto itu bukan milik kita.
Namun
sepertinya bukan sekedar itu. Asumsi dasar makhluk ekonomi adalah rasionalitas,
yaitu kecenderungannya akan cuan. Membeli barang yang sekilas tampak tak
bermanfaat, tentu saja tidak rasional. Mungkin masa depan memiliki
rasionalitasnya sendiri. Terlepas dari itu, dengan logika kita saat ini,
mungkin ada motif yang hendak dicapai ketika barang "sepele" laku
jutaan rupiah, yang bisa jadi tidak bisa dilepaskan dari ekosistem blockchain
yang baru tumbuh. Setelah muncul primadona cryptocurrency, kini ada
"komoditas virtual".
Dalam
perbincangan warung kopi, tujuan dari mata uang krypto adalah ingin meruntuhkan
dominasi mata uang konvensional, dan tentu saja bank sentral dan
lembaga-lembaga pendukungnya, bahkan mungkin negara. Namun perlu diingat bahwa
mata uang sudah seperti komoditas, tidak hanya alat tukar. Ia akan berharga
mahal ketika banyak permintaan, sebagaimana sifat komoditas. Bahkan meluas
hingga menjadi instrumen investasi.
Mata
uang konvensional dijamin oleh negara, sebagai organisasi-lembaga yang memiliki
kewenangan-kewenangan. Negara memiliki kekuatan memaksa agar rakyatnya terus
menggunakan mata uang yang dianggap sah di negara tersebut. Dari sini saja,
mata uang krypto telah kalah start untuk berkompetisi. Ia tidak memiliki
penjamin yang membuat dirinya dibutuhkan. Sebenarnya dalam diri teknologi
blockchain, ia memiliki penjamin tersebut, dengan modelnya yang
terdesentralisasi. Misalnya, siapapun sekarang bisa menambang uang krypto
bitcoin yang kemudian menjadikan aset tersebut inklusif. Hingga kemudian
bitcoin mendapat kepercayaan untuk menjadi alat tukar disejumlah platform,
seperti wordpress, menjadikan bitcoin dan uang krypto yang lain semakin banyak
peminat (permintaan), membuat harganya terus naik, meskipun berfluktuatif.
Dalam
konteks NFT, yang dibayar dengan uang krypto, bisa jadi itu adalah sarana untuk
menciptakan permintaan terhadap uang krypto itu sendiri. Kita ingat bahwa
minyak sempat dijuluki sebagai emas hitam karena negara Arab menghendaki
minyaknya dibeli dengan Dolar. Minyak adalah sumber energi, yang dibutuhkan
semua negara untuk menjalankan perekonomian. Dengan demikian, permintaan akan
dolar menjadi terjaga, karena ada komoditas penjaminnya. Jaman dahulu,
komoditas penjamin ini adalah emas, itulah mengapa minyak kemudian dijuluki
dengan emas hitam. Dalam rupa NFT, mungkin orang-orang besar dibalik krypto dan
blockchain berupa untuk mengkaitkan uang krypto dengan komoditas. Dibuatlah
booming NFT, sehingga orang-orang tertarik untuk membuat komoditas.
Produk-produk tak berguna yang dibeli mahal itu adalah pemanis, sebagaimana
biaya iklan untuk menarik minat orang-orang menggunakan produk-produk baru.
Mungkin kedepan aset NFT akan lebih elegan dan eksklusif, entah berbentuk apa.
Atau jika ia tetap seperti ini, menjadi pasar barang-barang tak berguna, akan
tiba saatnya ia jenuh, sebagaimana bubble yang terus membesar dan meletus. NFT
yang berguna tentu saja banyak, misalnya mengkaitkan NFT dengan produk tertentu
lainnya, seperti keuntungan-keuntungan di platform lain. Inilah barangkali
pasar NFT dimasa depan.
No comments