Kebijakan dan Menjadi Bijak
Definisi policy, dalam kamus Mirriam Webster versi aplikasi, salah satunya adalah prudence or wisdom in the management of affairs. Itulah mengapa (mungkin), policy kemudian diterjemahkan sebagai kebijakan. Kata dasar bijak, memiliki keterkaitan arti dengan wisdom. Sedangkan definisi wisdom sendiri adalah ability to discern inner qualities and relationships dan accumulated philosophical or scientific learning. Adapun bijak, atau kebijaksanaan, menurut KBBI adalah terkait penggunaan akal budi dan kecakapan bertindak. Artinya, bijak memang berhubungan dengan intelektualitas dan kemampuan menggunakan intelektual (akal budi) tersebut untuk bertindak dan mengambil keputusan, karena tentu saja pengambilan keputusan juga dipengaruhi oleh hubungan antar pengetahuan yang sudah tersimpan dalam otak kita. Sehingga kebijakan, sebagai policy memang bisa dimaknai sebagai keputusan yang didasari pertimbangan keilmuan. Misalnya, kebijakan ekonomi tentu saja harus berlandaskan ilmu-ilmu ekonomi.
Model
diatas mungkin bisa kita aplikasikan pada diri kita, sebagai ikhtiar untuk
menjadi manusia bijak. Kata kuncinya adalah ilmu dan kemampuan. Pertama-tama,
untuk menjadi bijak, kita perlu berilmu, karena dalam ilmu terkandung banyak
pelajaran, dimana kita tidak harus mengalaminya secara langsung untuk mengetahu
sesuatu. Misalnya, untuk memahami mengenai penderitaan rakyat jaman penjajahan,
kita bisa belajar ilmu sejarah. Dalam hal ini, untuk berilmu kita perlu
belajar, entah dari buku, tulisan, pembicaraan dsb. Yang kedua, adalah
kemampuan. Agar kita menjadi orang bijak, menjadi manusia berwawasan luas
(berilmu) saja tidak cukup. Bijak adalah kemampuan, oleh karenanya ia adalah
level pencapaian. Seperti halnya kemampuan membaca, untuk bisa membaca, kita perlu
tahu huruf-huruf kemudian kita berlatih mengeja kata. Semakin banyak mengeja,
kemampuan membaca akan semakin baik, hingga sampai pada taraf makna. Demikian
halnya untuk menjadi bijak. Setelah belajar, kita perlu berlatih, yaitu mencari
korelasi dari permasalahan-permasalahan yang sudah kita pelajari dalam proses
belajar tadi. Setiap permasalahan biasanya ada penyebabnya dan karena kita
sudah mempelajarinya, terkadang juga sudah tersedia solusinya. Inilah yang perlu
kita perhatikan baik-baik. Selain itu, untuk menjadi bijak, kita perlu
menerapkan prioritas, bahwa tidak semua materi bisa menjadi pertimbangan
relevan. Misalnya jika kita ingin memberi hadiah kepada teman yg berulang
tahun, pertimbangan pemberian hadiah adalah pengetahuan tentang barang kesukaan/yang
sedang dibutuhkan kawan kita. Kita mungkin tahu, barang kesukaan pacarnya, tapi
hanya atau menjadikan itu sebagai pertimbangan utama adalah tidak relevan.
Proses ini penting, setidaknya agar otak kita tidak menjadi gudang penyimpan
informasi belaka.
Kembali ke tataran policy, terkadang memang ada kebijakan yang memancing kontroversi atau kegaduhan apabila dianggap tidak mengakomodir aspirasi masyarakat. Seperti JHT, yg dianggap tidak pro-pekerja padahal pekerja adalah stakeholder utama, atau pihak yang paling terdampak atas kebijakan tersebut. Jika mengetahui permasalahan pekerja adalah salah satu proses belajar, pengambilan keputusan (kebijakan) sebaiknya mengadopsinya sebagai materi. Mungkin pengambil kebijakan sedang mencari korelasi dengan kepentingan-kepentingan lain yang relevan dan signifikan, seperti pengusaha, pembiayaan negara atau yang lainnya. Namun, jika stakeholder utama saja tidak sependapat, lantas materi mana yang menjadi prioritas?
No comments