Program Pengungkapan Sukarela 2022
Tahun 2022 ini pemerintah mencanangkan Program Pengungkapan Sukarela
(PPS), yang pada intinya adalah pengungkapan harta bersih yang belum diungkap
di tahun-tahun sebelumnya. Program ini dilaksanakan berdasarkan Bab V UU
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang dijelaskan lebih lanjut dalam
PMK-196/PMK.03/2021. Sekilas program ini mirip dengan Pengampunan Pajak atau
tax amnesty tahun 2016, yaitu mengungkapkan harta dan utang yang belum
dilaporkan ditahun-tahun sebelumnya. Konsep dasarnya barangkali, karena
harta/aset diperoleh melalui penghasilan, dan ada penghasilan tersebut yang
belum dipajaki, maka dengan mengungkapkan harta bersih dan membayar sejumlah
uang tebusan, maka atas penghasilan yang belum dipajaki tersebut dianggap sudah
clear, tidak ada lagi pajak terutang. Berangkat dari sudut pandang tersebut, pada
dasarnya tax amnesty 2016 maupun PPS 2022 sama saja. Namun demikian,
Pemerintah, melalui Dirjen Pajak, mengatakan jika PPS 2022 ini bukan tax
amnesty jilid II, karena karena PPS didukung oleh akses keuangan yang tidak
terbatas, Automatic Exchange of Information (AEoI), dan kesepakatan-kesepakatan
global dengan negara lain. Mungkin pemerintah menghindari persepsi tax amnesty
Indonesia terbuka kemungkinan dilakukan berkali-kali, karena tax amnesty yang
demikian dapat mendorong ketidakpatuhan, karena akan muncul persepsi
ketidakpatuhan sekarang akan diampuni dimasa mendatang. Terlepas dari itu, tax
amnesty 2016 dan PPS 2022 ini memang berbeda dari sisi tujuan penerapannya.
Jika pada tax amnesty 2016 ada misi untuk memperkuat basis data (reformasi
perpajakan) disamping meningkatkan kepatuhan sebagaimana disebutkan dalam UU
Pengampunan Pajak, pada PPS 2022 ini ada nuansa percepatan pemulihan ekonomi
akibat krisis di masa pandemi, sebagaimana disebutkan dalam UU HPP.
Secara umum, dalam PPS 2022 ini, terdapat dua skema, yaitu untuk Wajib
Pajak yang pernah ikut tax amnesty (skema 1) dan Wajib Pajak Orang Pribadi (OP)
(skema 2). Dalam skema 1, jika Wajib Pajak pernah ikut tax amnesty, tetapi ada
harta bersih (harta dikurangi utang) yang kurang atau belum diungkap (harta
diperoleh 1 Januari 1985 s.d 31 Desember 2015), atas harta tersebut dikenai
tarif bervariasi antara 6%-11%, yaitu:
1.
11% harta deklarasi.
2.
8% harta DN dan LN repatriasi.
3.
6% harta DN dan LN repatriasi, yg diinvestasikan dalam
SBN/hilirisisasi/renewable energy.
Wajib Pajak yang pernah ikut tax amnesty adalah Wajib Pajak OP maupun
Badan, sebagaimana peserta tax amnesty sesuai UU Pengampunan Pajak 2016.
Melihat skema 1 ini saja, tampak bahwa PPS ini adalah semacam “terusan” dari
tax amnesty. Adapun skema 2 diperuntukkan khusus untuk Wajib Pajak OP yang
memiliki harta bersih diperoleh sejak 1 Januari 2016 sampai dengan 31 Desember
2020 dan belum dilaporkan dalam SPT Tahun 2020. Tarif untuk skema dua ini
bervariasi antara 12%-18%, yaitu:
1.
18% harta deklarasi.
2.
14% harta DN dan LN repatriasi.
3.
12% harta DN dan LN repatriasi, yg diinvestasikan
dalam SBN/hilirisisasi/renewable energy.
Berangkat dari dua skema tersebut, ada beberapa kemungkinan Wajib Pajak
peserta PPS, yaitu:
1. Wajib Pajak OP sudah ikut tax amnesty dan menganggap
Surat Pernyataannya sudah benar, kemudian ada harta bersih yang diperoleh 1
Januari 2016 s.d. 31 Desember 2020 belum dilaporkan di SPT 2020, maka ikut PPS
skema 2 dengan tarif 12%-18%.
2. Wajib Pajak OP sudah ikut tax amnesty dan menganggap
ada harta yang belum/kurang diungkap, kemudian ada juga harta bersih yang
diperoleh 1 Januari 2016 s.d. 31 Desember 2020 belum dilaporkan di SPT 2020,
maka ikut PPS untuk harta diperoleh 1 Januari 1985 s.d 31 Desember 2015 dikenai
tarif 6%-11% dan untuk harta yang diperoleh 1 Januari 2016 s.d. 31 Desember
2020 dikenai tarif 12%-18% (mengikuti skema 1 dan skema 2).
3. Wajib Pajak Badan sudah ikut tax amnesty dan
menganggap menganggap ada harta yang belum/kurang diungkap, maka dapat ikut PPS
khusus untuk skema 1, dengan dengan tarif 12%-18%.
4.
Wajib Pajak OP tidak ikut tax amnesty, jika ada harta
bersih yang diperoleh 1 Januari 2016 s.d. 31 Desember 2020 belum dilaporkan di
SPT 2020, maka ikut PPS dengan tarif 12%-18%.
Untuk Wajib Pajak yang ikut tax amnesty, tetapi ada harta bersih yang
belum/kurang diungkap/dilaporkan, jika Wajib Pajak tersebut ikut PPS maka tidak
akan dikenai sanksi pasal 18 UU Pengampunan Pajak 2016. Seperti yang kita tahu,
bagi Wajib Pajak yang ikut tax amnesty, saat ini masih bisa dikenai sanksi
pasal 18 tersebut ketika DJP menemukan ada harta bersih (diperoleh tahun
1985-2015) kurang/belum diungkap.
Lantas, bagaimana jika Wajib Pajak OP tidak ikut tax amnesty, tapi DJP
menemukan indikasi ketidakpatuhan? Fasilitas mengikuti tax amnesty adalah Wajib
Pajak tidak diperiksa, diperiksa bukti permulaan maupun disidik, atau ketika
sudah diperiksa, diperiksa bukti permulaan maupun disidik, maka dihentikan.
Wajib Pajak OP yang tidak ikut tax amnesty tentu saja tidak mendapat fasilitas
tersebut, sehingga masih bisa dilakukan penyidikan apabila harta bersih yang
ditemukan DJP terdapat indikasi pidana perpajakan, karena daluwarsa penuntuan
tindak pidana perpajakan adalah sepuluh tahun. Sedangkan untuk diterbitkan
surat ketetapan pajak sudah tidak bisa, karena sudah melampaui daluwarsa
penetapan. Oleh karenanya, manfaat Wajib Pajak mengikuti skema 1 mencakup pula
pada isu pidana, terlebih fasilitas tax amnesty maupun PPS ini adalah data dan
informasinya tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau
penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.
Untuk Wajib Pajak OP yang merasa selama ini sudah patuh (semua pelaporan dan penghitungan pajaknya sudah benar), namun ada harta bersih yang belum dilaporkan di SPT 2020, tetap dapat mengikuti PPS ini melalui skema 2. Namun demikian, yang perlu kita perhatikan adalah tarif pengenaannya, karena bisa jadi pajak yang dibayar menjadi lebih besar. Ketentuan dalam PPS adalah jika tidak ikut PPS dan ada harta bersih yang ditemukan tetapi belum dilaporkan di SPT, maka DJP akan menganggap harta bersih tersebut sebagai penghasilan sedangkan jika ikut PPS, maka Wajib Pajak tersebut tidak diperiksa. Jika sudah patuh dan tidak ikut PPS, alternatifnya adalah melakukan pembetulan SPT jika memang ada harta bersih yang belum dilaporkan. Syarat pembetulan adalah Wajib Pajak tersebut belum diperiksa. Jika sudah diperiksa dan ditemukan harta bersih yang belum dilaporkan tersebut, akan dianggap sebagai penghasilan dan dikenai tarif 30%. Jika sudah pembetulan dan kemudian diperiksa, karena sudah patuh, kemungkinan besar nilai kurang bayarnya juga tidak signifikan. Berbeda jika ia merasa patuh, dan ikut PPS, dikenai tarif 12%-18% (skema 2) dari harta bersih.
No comments