Pertentangan Persepsi, Media Sosial dan Ketegangan Ukraina
Manusia tentu saja memiliki perspektif
atas banyak isu. Terkadang muncul pertentangan karena sudut pandangnya berbeda,
hingga kemudian manusia berkompromi untuk memperoleh kesepakatan-kesepakatan atau sudut pandang baru. Namun ada
kondisi dimana manusia menyerahkan begitu saja perspektifnya, tunduk pada pandangan orang/pihak lain. Atau, perspektifnya sedemikian
kuat sehingga tidak bisa
berkompromi. Masing-masing
orang tentu punya alasan,
yaitu sampai sejauh mana dapat memegang batasan persepsinya. Yang jadi masalah adalah ketika batasan itu
telalu lebar, sehingga ia tidak bisa berkompromi untuk hal yang sebenarnya tidak
penting-penting amat. Contohnya adalah debat kusir di media sosial. Debat
adalah contoh konflik level ringan.
Kita
lihat misalnya ketika artis memposting gaya hidupnya. Ada warganet yang kemudian
berkomentar bahwa kegiatan tersebut ini dan itu, tentu saja menurut sudut
pandangnya. Kemudian si artis balik berkomentar bahwa sesungguhnya ini dan itu,
dari sudut pandang artis. Mengomentari keseharian orang, bisa jadi adalah
selemah-lemahnya komentar, karena kita bisa berargumentasi tanpa banyak berfikir,
tentu saja dengan penilaian dari sudut pandang kita, untuk menilai hanya atas
sesuatu yang tampak.
Orang-orang di media sosial sebenarnya
anonim. Tapi ia bisa dimobilisasi menjadi semacam kawanan. Satu bebek seperti
tidak berarti. Tapi kawanan bebek, apabila dapat
menggiringnya, bahkan
bisa membuat pergi seekor kambing. Begitu pula sosial media. Karena manusia memang
cenderung bersifat
"kawanan" terhadap sesuatu
yang merasa dirinya sama, maka manusia-manusia ini bisa jadi berkonflik untuk
membela sudut pandangnya, sekaligus untuk membela kawanannya. Itulah mengapa, media sosial membuat konflik terpapar
jelas. Tampaknya, kecenderungan
ini dapat diprediksi dengan cukup
baik oleh sebagian pemodal. Membakar semangat primordial, untuk
mendukung kepentingan
kelompok tertentu. Hasilnya adalah polarisasi
yang tentu berbahaya. Disitulah sebenarnya peran negara menjadi nyata untuk
menjadi penengah yang
adil, bukan justru menjadi kepanjangan tangan
dari kelompok-kelompok tertentu.
Kembali
kepada komentar warganet tadi, kecenderungan lain adalah kita merasa perlu
untuk berkomentar untuk menunjukkan eksistensi. Mungkin alasannya adalah nasihat,
namun sekali lagi, muaranya adalah mengenai ke-ada-an diri. Memberi nasihat
adalah salah satu cara agar kita diakui. Menariknya, pemodal dibalik layar mampu
mengakomodir modus mengada ini. Mereka memberi ruang umpan-umpan komentar, misalnya
dalam bentuk postingan kontroversial, agar para warganet dapat menyalurkan
hasrat kedirian mereka. Hasilnya, meskipun internet dapat menjadi sarana mencari
berbagai sudut pandang untuk memperkaya perspektif pribadi kita, namun yang terjadi
seolah sudut pendang itu menjadi hitam-putih, dalam rupa lalu-lintas persepsi
di media sosial.
Terkait
perspesi dan pertentangan ini, dalam konteks yang lebih luas bisa kita lihar
konflik di Eropa Timur. Presiden Rusia, Vladimir Putin, terlihat memobilisasi sekitar
seratus ribu pasukan di perbatasan Rusia-Ukraina. Bisa jadi ini adalah episode selanjutnya
dari langkah Putin menganeksisasi Crimea tahun 2014 dan deklarasi kemerdekaan
Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk di Ukraina Timur yang
didukung Rusia. Dalam mobilisasi pasukan ini, Putin beralasan diawal tahun
1990an, NATO berjanji tidak akan melebarkan keanggotaannya ke wilayah timur Eropa,
sedangkan klausul ini dibantah sendiri oleh NATO, bahwa tidak ada komitmen
seperti itu. Ukraina memang semakin mendekat ke NATO dan Uni Eropa. Dalam hal
ini, Rusia dan NATO memang berpegang pada persepsi masing-masing, terutama mengenai
klaim Putin mengenai janji NATO diawal 1990an. Diantaranya bekas negara Uni
Soviet sendiri, terdapat tiga negara yang sudah mendapat keanggotaan penuh,
yaitu Estonia, Latvia dan Luthuania. Jika perbedaan persepsi ini tidak bisa
dikompromikan, bukan tidak mungkin akan terjadi perang. Terlebih, baru-baru ini
ada sinyal China untuk mendukung Rusia dalam perteman Putin dan Xi Jinping di
pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Beijing. Ketika masing-masing pihak mendapat
dukungan dari pihak lain, baisanya akan meningkatkan kepercayaan diri bahwa persepsinya
benar.
www.nato.int |
NATO sendiri memiliki hubungan erat dengan Uni Eropa, dimana dua pertiga anggota Uni Eropa adalah anggota NATO sebagaimana gambar diatas.
No comments