Header Ads

Scarring Effect dan Quantative Easing

Dalam konferensi persnya, Menteri Keuangan sebagai koordinator KSSK (terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan), salah satunya membahas mengenai scarring effects, yaitu istilah untuk bekas luka atau efek yang membekas karena dampak krisis, dan quantitative easing (QE), yaitu kebijakan moneter longgar dengan injeksi likuiditas. Kebijakan QE tersebut dijalankan oleh BI untuk solusi krisis akibat pandemi. Selain QE, BI juga menerapkan kebijakan suku bunga rendah dan stabilisasi nilai tukar rupiah.

Scarring Effect

Tidak bisa dipungkiri jika pandemi covid-19 telah menyebabkan krisis ekonomi dibanyak negara. Berbagai kebijakan ekonomi telah ditempuh, tak terkecuali Indonesia. Jika pada 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar minus 2,07%, maka tahun 2021, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu rebound, sebesar 3,7%. Meskipun telah mampu tumbuh positif jika dibanding sebelum pandemi, kondisi ini tetap perlu diantisipasi agar scarring efects-nya dapat dikendalikan. Dalam konferensi persnya, KSSK berupaya mengendalikan scarring effects melalui pemerataan ekonomi diberbagai sektor dan antar daerah.

Langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah sendiri diantaranya memberikan insentif fiskal dan dukungan belanja Pemerintah untuk menjaga kinerja keuangan dunia usaha dan mendorong daya beli masyarakat. Pemerintah juga mengimplementasikan program penjaminan kredit untuk memberikan keyakinan kepada perbankan dalam menyalurkan kredit. Dari sisi perpajakan, Pemerintah memberikan fasilitas kepabeanan untuk meningkatkan daya saing ekspor melalui pemberian insentif penangguhan Bea Masuk (BM) dan/atau tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) untuk Kawasan Berikat (KB) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Selain itu, fasilitas perpajakan juga diberikan melalui skema Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).

Berdasarkan pengalaman krisis di seluruh dunia, scarring effect krisis yang paling parah memukul perekonomian adalah krisis keuangan, dimana likuiditas kemudian berpengaruh pada kemampuan sektor riil untuk berproduksi (output). Untuk pandemi, dampak krisis diperkirakan lebih moderat dalam jangka menengah, namun dampak ikutannya akan cukup bervariatif diberbagai negara. IMF sendiri memperkirakan output dunia tahun 2024 akan lebih rendah 3% dari proyeksi sebelumnya sebelum pandemi melanda. Dampak krisis akibat pandemi ini relatif berbeda dengan kondisi pasca krisis keuangan. Ciri dampak krisis keuangan adalah ketika negara maju terkena krisis, dampaknya akan cukup mengena di negara-negara berkembang, bahkan lebih dalam, seperti Indonesia tahun 1998. Sedangkan untuk krisis akibat pandemi, cenderung bersifat lokal dan dampak krisis relatif bervariasi dileval domestik, serta negara-negara yang bertumpu pada pariwisata dan jasa, akan lebih berat untuk rebound.

Quantitative Easing

Sementara itu, quantitative easing (QE) dapat definisikan ketika bank sentral membeli surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah atau bank-bank, dan/atau menerapkan kebijakan suku bunga rendah, yang bertujuan meningkatkan kredit masyarakat dan likuiditas. Seperti Indonesia dimasa pendami, Bank Indonesia (BI) membantu pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp831,74 triliun melalui pembelian surat utang negara selama dua tahun (2020 dan 2021). QE biasanya diberikan pada saat kondisi inflasi sedang rendah dan ketika langkah moneter konvensional tidak efektif. Selain untuk menstimulus perekonomian dengan likuditas, QE diharapkan juga akan meningkatkan investasi asing dan ekspor, karena nilai tukar mata uang dalam negeri turun, sehingga lebih menarik bagi investor asing serta harga komoditas ekspor menjadi lebih bersaing (murah).

Jepang adalah negara yang pertama kali menerapkan QE pada rentang waktu 2001 s.d. 2006. Untuk memerangi deflasi, bank sentral Jepan (Bank of Japan-BoJ) menetapkan suku bunga rendah, membeli surat utang yang ditebitkan oleh pemerintah dan membanjiri bank-bank komersial dengan likuiditas. Tahun 2012, Jepang kembali menerapkan kebijakan QE pada saat periode kepemimpinan perdana menteri Shinzo Abe, yang kemudian dikenal dengan “Abenomics”. Pada awal 1990an, BoJ sebenarnya sudah menerapkan suku bunga rendah, sebagai solusi atas stagnasi perekonomian pada saat itu dan deflasi ditahun 1994.

Tahun 2008, sebegai respon atas krisis finansial, bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve-The Fed) membeli surat utang Pemerintah dan bank-bank. Kebijakan ini diterapkan sampai tahun 2014, dimana total uang yang digelontorkan mencapai lebih dari $ 4 triliun USD. Dengan QE ini, target pengangguran 7%, inflasi tidak melebihi 2% dan pertumbuhan ekonomi 2-3% berhasil dicapai. Tahun 2020, sebagai respon atas pandemi, The Fed kembali melakukan QE. Dari $ 700 miliar USD yang digelontorkan untuk menstimulus perekonomian, $ 500 miliar diantaranya untuk membeli surat utang Pemerintah. Langkah serupa juga diambil bank sentral Eropa (European Central Bank-ECB), yang melakukan QE tahun 2009 dengan membeli surat utang negara-negara anggota Uni Eropa.

Kembali ke Indonesia, tahun 2022 ini direncanakan menjadi tahun terakhir BI melakukan pembelian surat utang Pemerintah, sebagai komitmen sharing burden dimasa pandemi. Rencananya, BI akan berkontribusi sebesar Rp 224 triliun untuk pembiayaan APBN 2022.

Catatan:

1.  Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku tahun 2021 sebesar Rp 16.970,8 triliun dan PDB per kapita sebesar Rp 62,2 juta atau US$ 4.349,5.

2.  Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku tahun 2020 sebesar Rp 15.434,2 triliun dan PDB per kapita sebesar Rp 56,9 Juta atau US$ 3.911,7.

3.  Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku tahun 2019 mencapai Rp 15.833,9 triliun dan PDB per kapita sebesar Rp 59,1 Juta atau US$4.174,9.

Scarring Effect dan Quantative Easing Scarring Effect dan Quantative Easing Reviewed by KATALOGI on February 17, 2022 Rating: 5

No comments

Random Posts

3/random/post-list