Rokok Murah Saat Cukai Naik
sumber gambar gatra.com |
Akhir-akhir ini mungkin kita bertanya-tanya, ada banyak merek rokok baru yang dijual murah. Disatu sisi pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan tarif cukai rata-rata 12% mulai 1 Januari 2022. Kenaikan ini lebih rendah dari rata-rata kenaikan tahun sebelumnya, yaitu 12,5%. Tampaknya kenaikan ini “hanya” berdampak pada merek-merek lama, yang notabene diproduksi oleh pabrikan besar.
Karena penasaran, saya coba searching sumber aturannya, yaitu
PMK-192/PMK.010/2021. Dalam ketentuan tersebut, terutama dilampirannya,
dijelaskan mengenai Batasan harga jual eceran (HJE) rokok yang ternyata cukup
bervariasi, yaitu:
Rokok yang kita lihat atau beli di toko dan warung, sesuai dengan
identifikasi dalam pita cukainya, adalah sigaret kretek tangan (SKT), sigaret
kretek mesin (SKM), sigaret putih tangan (SPT), sigaret putih mesin (SPM),
sigaret putih tangan filter (SPTF) dan sigaret kretek tangan filter (SKTF).
Dari jenis-jenis rokok tersebut tampak jika harga paling murah adalah SKTF dan
SPTF, yaitu Rp 505 untuk golongan III (batasan HJE per batang). Penjelasan
golongan adalah sebagai berikut:
Dengan mengasumsikan rokok SKTF golongan III, maka harga rokok menjadi
Rp 6.060 per bungkus untuk 12 batang. Sesuai PMK tersebut, definisi batasan HJE
per batang adalah adalah rentang harga jual eceran per batang atas
masing-masing jenis hasil tembakau produksi golongan Pengusaha Pabrik hasil
tembakau. Artinya, Batasan HJE itulah yang dibayar oleh pembeli, sehingga dalam
harga rokok SKTF golongan III, sebesar Rp 6.060 sudah terkandung cukai sebesar
Rp 115 x 12 = Rp 1.380 atau 22,8% dari harga yang dibayarkan pembeli. Harga ini
rupanya cukup jauh bedanya dengan SKM golongan I, yaitu Rp 1.905 per batang
dengan tarif cukai Rp 985 atau 51,7% dari harga yang dibayarkan pembeli. Itulah
mengapa, mungkin, mulai muncul pabrik rokok baru yang kemudian membuat
merek-merek baru sebagai alternatif dari merek lama yang sudah mapan. Adapun
“Batasan HJE” dan HJE ini ternyata agak berbeda. HJE adalah harga yang
tercantum dalam pita cukai, sedangkan Batasan HJE ini tidak fixed, yaitu
ditentukan “lebih rendah” atau “lebih dari”, sehingga sangat mungkin harga
rokok dipasaran lebih tinggi dari harga tersebut.
SPTF dan SKTF diproduksi tanpa menggunakan mesin, sehingga bisa jadi
akan menyerap tenaga kerja lebih banyak daripada SKM dan SPM. Itulah mengapa,
mungkin, menjadi alasan pemerintah mendesain batasan HJE dan tarif cukai jenis
ini lebih rendah daripada jenis rokok lain.
Mencoba menengok lebih jauh ke UU Cukai, tarif cukai dapat ditetapkan
57% dari HJE, nilai spesifik jumlah dalam rupiah atau kombinasi keduanya. Saat
ini, sesuai PMK-192 tersebut, tarif cukai yang digunakan adalah spesifik per
batang/gram. Yang menarik, Bea Cukai ternyata juga melakukan pengawasan harga
transaksi pasar terhadap rokok. Mungkin dengan pengawasan ini menjadi bahan
bagi Bea Cukai untuk menetapkan HJE. Dengan karakteristik cukai sebagai
pungutan untuk mengurangi konsumsi barang tertentu, maka jika HJE/cukai
ditetapkan terlalu rendah dari harga pasar tentu tidak akan efektif mengurangi
konsumsi, sebaliknya, jika ditetapkan terlalu tinggi dikhawatirkan akan
menghambat industri. Terlebih dalam industri rokok, terdapat banyak pelaku
ekonomi yang terlibat, mulai dari petani, tenaga kerja pabrik, sampai pengecer. Dalam contoh gambar pertama diatas (dengan menggunakan pita cukai 2018), Rp 22.400 adalah HJE sedangkan dalam praktiknya, harga pasar bisa lebih tinggi/lebih rendah dari harga tersebut. Rp 590 adalah besarnya cukai per batang.
Jika kita perhatikan lebih jauh, dengan ketentuan saat ini, jumlah cukai
yang dibayar oleh konsumen pada dasarnya tidak sampai 57%, terutama untuk kedua
contoh jenis rokok diatas. Bahkan untuk rokok SKTF golongan III, persentasenya
hanya 22,8%. Hal ini mungkin untuk memberikan margin keuntungan yang lebih
besar kepada pengusaha rokok manual (tanpa menggunakan mesin).
Selain munculnya merek-merek baru, fenomena lain adalah menjamurnya
toko-toko tembakau, yang terkadang juga menyediakan “jasa” melinting rokok. Jika kita
lihat di UU Cukai, memang disebutkan bahwa tembakau yang tidak dikemas, tidak
dicampur dengan bahan-bahan yang lazim untuk rokok dan tidak dibubuhi merek
dagang, tidak dikenai cukai. Kemungkinan toko-toko tembakau tersebut termasuk
dalam lingkup hasil tembakau yang tidak dikenai cukai, sehingga tentu saja
harga tembakau atau “rokok”-nya lebih murah daripada rokok kemasan pabrik. Sebagaimana
fenomena ekonomi, jika harga suatu barang/komoditas tinggi/naik, maka akan
muncul barang substitusinya dan ini terbukti dalam kasus rokok tersebut. Belum
lagi jika kita bahas rokok ilegal. Dalam konteks barang substitusi, dengan
naiknya cukai dan harga rokok resmi, dikhawatirkan akan menaikkan jumlah rokok
ilegal di pasaran.
Lantas, pajak-pajak apa saja yang ditanggung oleh pembeli rokok, mengingat cukai cukup signifikan menyumbang penerimaan negara. Terutama untuk pajak konsumsi, konsumen dibebani setidaknya Cukai, Pajak Rokok
dan PPN. Untuk contoh rokok SKTF golongan III diatas, cukainya sebesar Rp 1.380
per bungkus (asumsi 12 batang). Untuk pajak rokok (termasuk dalam pajak
daerah), dihitung dengan mengkalikan tarif 10% dengan cukai, sehingga pajak
rokok SKTF golongan III adalah sebesar Rp 138. Sedangkan untuk PPN, sesuai
dengan PMK-207/PMK.010/2016 ditetapkan sebesar 9,1% dari nilai lain. Ini agak
berbeda dengan PPN secara umum, karena menggunakan dasar pengenaan pajak nilai
lain. Nilai lain dalam PPN rokok ini adalah HJE. Jika HJE ditetapkan sebesar Rp
6.060 per bungkus untuk 12 batang, maka PPN-nya menjadi sebesar Rp 551,46,
sehingga total pajak yang dibayar konsumen adalah Rp 1.380 + Rp 138 + Rp 551,46 =
Rp 2.069,46 atau sekitar 34% dari HJE. Tidak begitu tinggi sebenarnya, namun penghitungan ini tentu akan berbeda dengan rokok jenis lain.
Kesimpulannya, sepertinya kenaikan cukai ini tidak efektif untuk mengurangi jumlah perokok, karena perokok tetap memiliki alternatif untuk membeli rokok dengan harga lebih murah.
No comments