Pasar Kereta Kuda
Minggu siang, seperti biasa barangkali,
berjejar delman di depan Balaikota, di luar Monas. Mencoba menawar diurutan paling
depan, jalan, foto-foto dengan anak perempuan, dan kemudian obrolan dimulai..
“Ini kuda, apa bedanya sama yang
dipakai balapan?” iseng-iseng nanya,
“Beda Om, ini kuda Sumbawa.” jawab
kusir.
“Kayak gini nyampe 50 juta?”
“Gak nyampe Om, paling 20an.”
“Ini punya sendiri atau ada bosnya?”
“Ada bosnya Om. Kita setor mingguan,
400 ribu.”
“Udah sama keretanya?”
“Udah. Tapi kita ngrawat juga. Pulang sama
kita. Kita ngasih makan, kalau sakit kita juga yang ngrawat.”
“Kalau mati gimana?”
“Ya kita ganti, Om. Yang punya taunya
ya setoran aja. 400ribu seminggu itu.”
“Wah, lumayan juga ya. Sebulan berarti
1,2juta setoran. Yang punya ini, punya berapa kuda?”
“Punya tiga om.”
Dalam hati sambil menghitung 1,2juta
dikali tiga, 3,6juta passive income gak keluar keringat.
“Ini juga, baru ini Om dapat yang
naik. Dari jam delapan tadi pagi.”
Sekarang sudah Jam 2 siang. Artinya, sekitar
enam jam menunggu giliran dapat penumpang. Entah bagaimana masnya ini menghabiskan
waktu enam jamnya.
“minggu lalu, sampai jam 11 malam kita
masih nombok. Akhirnya pulang jam setengah dua. Akhir-akhir ini sepi. Tapi ya
mau gimana lagi. Kerja yang lain juga susah.”
...
Ini barangkali model sewa aset tetap
yang lazim terjadi di negara kita. Pemilik aset menyewakan asetnya kepada orang
lain. Pemilik aset mendapatkan passive income dari penyewa, tidak keluar
keringat, bahkan dalam beberapa kasus, tidak menanggung risiko. Seperti sewa
kuda dan delman diatas, risiko kuda sakit dan kuda mati ditanggung oleh
penyewa. Di sisi lain, tentu saja penyewa juga tidak hijau dalam masalah
perkudaan, karena ketika hendak menyewa tentu saja ia sudah paham mana kuda
yang kuat dan sehat, maka yang lemah dan sakit.
Meskipun tampak memberatkan, harga sewa
dan persyaratannya adalah harga keseimbangan. Di sekitaran monas, tidak hanya
satu-dua kuda delman ngetem menunggu pelanggan. Artinya, bisnis itu
sejauh ini menjanjikan keuntungan, meskipun mungkin tidak seberapa. Apalagi harga
yang ditawarkan kusir memang tergolong mahal. Kusir membuka harga 200ribu untuk
keliling monas, meskipun pada akhirnya bisa ditawar 100ribu. Mungkin ini masih
kemahalan, karena durasi naik kuda juga tidak sampai setengah jam.
Dalam kesepakatan penyewa dengan
pemilik kuda, saya yakin juga tidak ada dokumen kontrak tertulis. Saya tidak bertanya
lebih jauh mengenai kesepakatan-kesepakatannya, tetapi dari model yang sering
kita temui di “sektor informal”, kesepakatannya bersifat kekeluargaan. Biasanya
mereka sudah mengenal satu sama lain, sehingga ketika misalnya, kudanya hilang,
pemilik kuda bisa melacak orang yang menghilangkan kudanya tersebut, entah
bertanya keluarga atau temannya. Transaksi ini bisa terjadi karena kepercayaan,
yang kemudian memunculkan pasar dan kesempatan untuk memperoleh penghasilan. Ketika
krisis hebat tahun 1998 di Indonesia, disaat sektor formal banyak yang kolaps, mulai
dari perbankan sampai industri manufaktur, sektor informal justru relatif tahan
krisis dan bahkan menjadi penyelamat. Bank yang diharapkan menjadi garda depan
kepercayaan, ternyata tidak mampu mengemban amanah itu hingga muncul skandal
BLBI. Dalam skala mikro, kasus penyewa dengan pemilik kuda adalah bukti jika
kepercayaan adalah kunci untuk menciptakan pasar baru. Jika pasar tercipta,
maka aktivitas perekonomian akan berkembang.
Dari sisi pelanggan, penting memang
untuk membuat pelanggan memiliki daya beli yang cukup. Dengan harga awal
200ribu, tentu saja masih terlalu berat untuk pengunjung monas, sebuah tempat
wisata untuk semua kalangan. Penarik kuda juga memanfaatkan monas untuk mencari
calon pelanggan. Artinya, jika diandaikan monas adalah pasar yang lebih besar,
maka pasar lebih kecil seperti pasar “naik kuda” bisa memanfaatkannya untuk menopang
permintaan. Dalam konteks yang lebih besar, seperti negara, pasar besar ini
bisa berwujud negara yang turun langsung sebagai pelaku perekonomian, seperti model
negara-negara kaya minyak di Timur Tengah, atau menggandeng swasta besar,
berupa konglomerasi, untuk menumbuhkan perekonomian, seperti model Korea
Selatan. Apapun itu, yang paling penting, sepertinya kepercayaan. Bagaimana
kepercayaan ini bisa tumbuh antar pelaku ekonomi, dan kemudian terlembaga, baik
melalui tangan pemerintah atau negara hanya sebagai pengawas kontrak. Pengadil
tetap harus ada.
Selain itu, keterbukaan dan inklusivitas
juga penting. Seperti yang disampaikan kusir kereta, dia sebenarnya ingin
mencoba pekerjaan lain, tetapi kesempatan itu susah diperoleh. Ada beberapa hal
tentu saja, yang mempengaruhi mobilitas pelaku ekonomi/pekerja, misalnya skill.
Tetapi lain daripada itu, mobilitas pelaku ekonomi untuk berpindah dari satu pasar
ke pasar yang lain memang penting, karena dengan mobilitas tersebut pelaku ekonomi
dapat meminimalisir opprotunity cost-nya. Barangkali ada kesempatan yang
lebih menjanjikan disektor lain, dan dia mampu, tetapi ada eksklusivitas dari
pelaku ekonomi yang telah mapan untuk memperketat pelaku ekonomi lain masuk ke
pasar tersebut. Eksklusivitas ini dapat berupa keahilian dan kualifikasi pendidikan
tertentu. Misalnya pasar pengacara. Bisa jadi ada seseorang yang tidak kuliah
di Fakultas Hukum, tetapi memiliki pengetahuan hukum yang mumpuni karena
belajar secara langsung kepada seseorang ahli secara informal. Orang ini tentu
saja akan terhalang untuk menjadi pengacara, karena ada berbagai persyaratan profesi
yang menghalanginya. Jika pasarnya adalah persaingan sempurna, mungkin tidak
masalah jika tidak ada persyaratan tersebut, karena informasi tersaji dengan
lengkap. Pelanggan akan dengan mudah melacak apa dan bagaimana orang tanpa
kualifikasi pendidikan ini. Dalam konteks ini, transformasi informality menjadi
formality juga penting, sebagai salah sumber informasi. Misalnya ahli hukum
tersebut memberikan semacam sertifikat kepada seseorang yang telah belajar
padanya, sebagai tanda ia sudah mumpuni berpraktik. Mekanisme ini mirip dengan ijazah
kyai kepada muridnya, sebagai tanda si murid sudah mumpuni untuk mengajar. Atau
jika ada pelaku ekonomi informal, maka tugas kolektif pemerintah, industri besar,
atau keduanya, untuk membantunya menjadi formal. Dalam kasus penyewa kuda,
pemerintah dapat membantu membuat dokumen kontrak resmi antara penyewa dengan
pemilik kuda, kemudian mempermudah persyaratan kredit dengan menjaminkan kontrak
tersebut.
Eksklusivitas dibuat untuk melindungi calon pelanggan, agar mendapat layanan atau pemenuhan kebutuhan yang sesuai dengan kualifikasi. Tentu saja pasar tetap bisa berjalan tanpa adanya syarat kualifikasi tersebut, tetapi nantinya proses koreksi ke keseimbangan yang baru menjadi lebih lama. Bahkan keseimbangan bisa jadi akan terus bergeser, sehingga tidak menjanjikan stabilitas. Itulah mengapa, perlu formulasi yang lain, berupa kelembagaan, untuk menyeimbangkan kepentingan stabilitas, perlindungan konsumen dan inklusivitas pasar. Perekonomian adalah tempat para pemburu rente. Untuk pasar yang sudah diatur saja masih terdapat berbagai penipuan, apalagi jika tidak diregulasi. Pasar sempurna adalah konsep utopis, namun bukan berarti kita mengabaikannya. Ikhtiar kita adalah adalah mendekati kondisi-kondisi pasar persaingan sempurna.
No comments