PPN dengan DPP Nilai Lain (Bag.1)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah salah satu jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat. Sebagaimana UU PPN, tarif PPN saat ini adalah 10% yang dikalikan dengan dasar pengenaan pajak (DPP). Dalam Pasal 8A UU PPN, DPP ini dapat berupa harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain. Mengani DPP nilai lain ini, diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri keuangan, diantaranya:
1.
Penyerahan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer
Sesuai
PMK-6/PMK.03/2021, penyerahan pulsa dan kartu perdana oleh pengusaha
penyelenggara jasa telekomunikasi atau penyelenggara distribusi tingkat pertama
dan kedua adalah berupa harga jual (tidak menggunakan DPP Nilai Lain), yaitu
sebesar nilai pembayaran yang ditagih oleh pengusaha penyelenggara jasa
telekomunikasi atau penyelenggara distribusi. Misalnya jika penyelenggara
distribusi tingkat pertama membayar deposit pulsa dan/atau kartu perdana kepada
penyelenggara jasa telekomunikasi sebesar 1 juta, maka PPN-nya sebesar 10% x 1
juta = Rp 100 ribu. Demikian halnya jika penyelenggara distribusi tingkat
pertama menjual pulsa Rp 100 ribu kepada Tuan X, maka penyelenggara distribusi
tingkat pertama juga wajib memungut PPN sebesar 10% x Rp 100 ribu = Rp 10 ribu.
Untuk penyelenggara distribusi tingkat kedua, apabila dia membayar deposit
kepada penyelenggara distribusi tingkat pertama dan menjual pulsa dan/atau
kartu perdana, perlakukannya sama dengan penyelenggara distribusi tingkat
pertama.
Untuk penyelenggara
distribusi tingkat ketiga (tingkat selanjutnya) dikenai PPN dengan DPP Nilai
Lain, yaitu sebesar nilai yang ditagih oleh Penyelenggara Distribusi Tingkat
Kedua kepada Penyelenggara Distribusi Tingkat Selanjutnya. Dengan demikian,
hanya tingkat ketiga yang dipungut PPN oleh tingkat kedua. Jika ada tingkat
keempat dan seterusnya, tidak melakukan pemungutan PPN apabila menerima deposit
maupun menjual pulsa ke pelanggan.
Selain itu,
peneraparan DPP Nilai Lain dilakukan terhadap penyerahan jasa pemasaran dengan
media Voucer, yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau
yang seharusnya ditagih, dalam hal penyerahannya tidak didasari pada pemberian
komisi dan tidak terdapat selisih (margin). Jika jumlah yang ditagih ini
sebesar Rp 1 juta, maka DPP-nya sebesar 10% x Rp 1 juta = Rp 100 ribu dan
PPN-nya sebesar 10% x DPP = 10% X Rp 100 ribu = Rp 10 ribu. Pajak masukan
sehubungan dengan operasional jasa pemasaran ini tidak dapat dikreditkan.
2.
Penyerahan liquefied petroleum gas tertentu (LPG
Subsidi)
Di negara kita,
LPG subsidu adalah LPG 3 Kg berwarna hijau. Penyerahan LPG jenis inilah yang
menggunakan DPP Nilai Lain, sedangkan LPG jenis lain yang tidak disubsidi,
menggunakan pajak masukan dan pajak keluaran seperti mekanisme pemungutan PPN
pada umumnya. Sesuai PMK-220/PMK.03/2020, DPP Nilai Lain untuk penyerahan LPG 3
Kg, yaitu:
a. Untuk penyerahan pada titik serah Pertamina,
sebesar 100/110 (seratus per seratus sepuluh) dari Harga Jual Eceran;
b. Untuk penyerahan pada titik serah Agen, sebesar
10/101 (sepuluh per seratus satu) dari selisih lebih antara Harga Jual Agen dan
Harga Jual Eceran; atau
c. Untuk penyerahan pada titik serah Pangkalan,
sebesar 10/101 (sepuluh per seratus satu) dari selisih lebih antara Harga Jual
Pangkalan dan Harga Jual Agen.
Untuk LPG 3 Kg ini memang agak
kompleks, karena harga jual eceranny ditetapkan oleh pemerintah. Dalam harga
jual yang ditetapkan tersebut, belum termasuk PPN, sedangkan LPG 3 Kg adalah
BKP sehingga penyerahannya dipungut PPN. Jika mengikuti mekanisme umum, yaitu
PPN 10% dari harga jual, harga dipasar akan berbeda signifikan dengan harga
yang ditetapkan pemerintah daerah, sehingga berpotensi menimbulkan kegaduhan di
masyarakat. PPN akan menaikkan harga di level konsumen akhir setidaknya sebesar
10%; jumlah yang cukup signifikan jika kita melihat peruntukan LPG 3 Kg untuk
masyarakat kurang mampu. Oleh karenanya, PPN ditetapkan dengan Nilai Lain
dengan nilai PPN efektif yang dipungut lebih rendah jika dibandingkan dengan
mekanisme umum. Pajak masukan sehubungan dengan operasional LPG 3 kg ini tidak
dapat dikreditkan.
3.
Penyerahan barang hasil pertanian tertentu
Ketentuan mengenai DPP penyerahan barang hasil
pertanian ini diatur dalam PMK-89/PMK.010/2020. Pada awalnya perlakuan PPN
terhadap barang hasil pertanian adalah mendapat fasilitas dibebaskan, karena
termasuk barang strategis sebagaimana PP 31 Tahun 2007. Namun kemudian,
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 70 P/HUM/2013, barang hasil pertanian
yang pada awalnya dibebaskan dari pengenaan PPN berubah menjadi dikenakan PPN
sehingga atas penyerahan dan impornya dikenai PPN dengan tarif 10%.
Barang hasil
pertanian tertentu, sebagaimana PMK-89/PMK.010/2020 ini berjumlah
41 komoditas, mulai dari hasil perkebunan (24 komoditas), tanaman pangan (4
komoditas), tanaman hias dan obat (3 komoditas) dan hasil hutan (10 komoditas).
Nilai Lain atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu tersebut ditetapkan
10% (sepuluh persen) dari Harga Jual. Tariff efektif PPN ini sebesar 1%,
sehingga adanya PPN tidak memberatkan pelaku usaha. Sedangkan pajak masukan
sehubungan dengan komoditas tersebut tidak dapat dikreditkan.
No comments